Israel-Iran Perang, Pemerintah Diminta Lakukan Ini buat Lindungi Ekonomi RI

Ekonomi Indonesia dinilai akan terdampak dari pecahnya konflik antara Israel dan Iran. Saling serang antara kedua negara diprediksi akan menggoyang stabilitas ekonomi dunia yang pada akhirnya juga berdampak ke perekonomian Indonesia.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, investor akan cenderung bersikap wait and see di tengah konflik yang terjadi. Hal ini akan memperlambat perdagangan global dan membuat pertumbuhan ekonomi dunia tertekan, serta inflasi yang semakin tinggi.

Belum lagi ada ancaman Selat Hormuz akan ditutup. Jika Iran benar-benar menutup jalur vital tersebut, Wijayanto menyebut harga komoditas energi akan naik tajam.

"Harga komoditas, terutama energi, berpotensi naik tajam jika Selat Hormuz benar-benar ditutup. Sementara itu, permintaan atas komoditas lain bisa menurun karena perlambatan ekonomi," katanya saat dihubungi detikcom, Senin (23/6/2025).

Ia menambahkan, defisit fiskal Indonesia juga akan semakin melebar. Belum lagi risiko nilai tukar yang terus tertekan dan berbagai risiko lain yang memperumit kondisi perekonomian nasional.

"Dalam konteks ini, defisit fiskal Indonesia bisa makin melebar, arus modal masuk (capital inflow) melemah, dan nilai tukar rupiah berisiko terus tertekan. Selain itu, upaya refinancing utang negara juga menjadi semakin menantang, memperumit kondisi perekonomian nasional," ujar Wijayanto.

Oleh karena itu ia meminta pemerintah memastikan program kerja berjalan efektif, tepat sasaran, dan efisien terhadap anggaran negara. Fokus utama harus diarahkan pada program yang menciptakan lapangan kerja dan menjaga daya beli masyarakat.

Lalu manajemen utang harus dijalankan secara lebih disiplin. Ketahanan energi juga perlu diprioritaskan melalui kerja sama jangka panjang dengan negara produsen minyak.

"Ketahanan energi (energy security) juga perlu diprioritaskan, salah satunya melalui kerja sama jangka panjang dengan negara produsen minyak. Di saat yang sama, percepatan transisi energi ke energi baru dan terbarukan (EBT) harus digenjot, mengingat dinamika global seperti ini sangat mungkin terulang kembali di masa depan," bebernya.

Menurut Wijayanto, perang ini berpotensi mengalami eskalasi dan berlangsung lama. ia menyebut Iran adalah negara yang sudah terbiasa menghadapi tekanan dan memiliki daya tahan luar biasa.

"Serangan udara saja tidak akan cukup berdampak, diperlukan operasi militer darat seperti yang terjadi di Irak untuk menjatuhkan pimpinan Iran yang didukung rakyat. Namun, hampir tidak ada negara yang bersedia mengirimkan pasukan daratnya," sebut dia.

Belum lagi jika kita memperhitungkan kemampuan militer Iran yang ternyata jauh lebih besar dari perkiraan, ditambah dengan dukungan solid dari China dan Rusia. Justru, kata dia, Israel dan Amerika Serikat (AS) bisa menjadi pihak yang paling dirugikan akibat langkah gegabah ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan meluasnya konflik di Timur Tengah bisa mendorong naiknya harga minyak secara signifikan. Lonjakan biaya impor BBM akan menyebabkan inflasi harga yang diatur pemerintah melonjak saat daya beli sedang lesu.

"Ini bukan inflasi yang baik, begitu harga BBM naik, diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat," beber Bhima dihubungi terpisah.

Jika perang berlangsung lebih lama, target pertumbuhan ekonomi di level 5% dinilai semakin sulit tercapai. Pasalnya situasi eksternal terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah.