Ipotnews - Nilai tukar dolar terpantau melemah terhadap sejumlah mata uang utama pada perdagangan di awal pekan ini, seiring ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga acuan oleh Federal Reserve, pasca rilis data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang mengecewakan.
Mengutip data Bloomberg pada Senin sore (4/8) pukul 15.00 WIB, kurs rupiah ditutup di level Rp16.401 per dolar AS, menguat 112 poin atau 0,68% dibandingkan Jumat sore (1/8) dilevel Rp16.513 per dolar AS.
Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, menyebut pasar mulai memperhitungkan potensi pemangkasan suku bunga acuan the Fed sebesar 25 basis poin pada pertemuan kebijakan pada September. Hal ini didorong data Nonfarm Payrolls (NFP) AS bulan Juli yang hanya bertambah 73.000 pekerjaan, jauh di bawah konsensus 110.000.
Revisi signifikan juga terjadi pada data bulan sebelumnya, dari 147.000 menjadi hanya 14.000 lapangan kerja. "Pasar tenaga kerja AS mulai menunjukkan pelemahan struktural. Kenaikan tipis tingkat pengangguran ke level 4,2% dari sebelumnya 4,1% juga menjadi sinyal tambahan bahwa kebijakan moneter longgar mulai diperlukan," kata Ibrahim dalam siaran pers sore ini.
Selain data ketenagakerjaan, pelaku pasar juga mencermati perkembangan geopolitik. Presiden AS Donald Trump dikabarkan mengerahkan dua kapal selam nuklir ke kawasan tertentu sebagai respons terhadap pernyataan keras dari Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev.
"Situasi geopolitik global kian memanas. Komentar Medvedev menyebut langkah Trump sebagai bentuk ultimatum dan langkah menuju konfrontasi militer," ujar Ibrahim.
Ketegangan ini turut diperparah oleh kebijakan tarif impor besar-besaran yang diberlakukan Trump terhadap negara-negara mitra dagang utama seperti Kanada, Brasil, India, dan Taiwan. Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, bahkan menegaskan tarif ini belum akan dicabut dalam waktu dekat.
Dari dalam negeri, tren inflasi inti mulai melandai sejak Mei 2025. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti Juli tercatat 2,32% (YoY), lebih rendah dibanding Juni yang sebesar 2,37%. Namun secara bulanan (MtM), terjadi kenaikan tipis dari 0,07% pada Juni menjadi 0,13% di Juli.
"Pelemahan inflasi inti menunjukkan berkurangnya tekanan dari sisi permintaan, meski emas perhiasan masih menjadi penyumbang utama inflasi inti," terang Ibrahim.
Namun demikian, inflasi umum justru mengalami kenaikan signifikan, dari 1,87% YoY pada Juni menjadi 2,37% pada Juli. Ini terutama didorong oleh lonjakan harga pangan (volatile food), yang mencatat inflasi 3,82% YoY.
"Meski inflasi inti melandai, masyarakat tetap merasakan tekanan dari kenaikan harga pangan. Hal ini menjadi tantangan tambahan bagi stabilitas daya beli," ungkap Ibrahim.
Dengan pelemahan dolar dan inflasi domestik yang masih terkendali, peluang penguatan rupiah ke depan masih terbuka, meskipun tetap dibayangi volatilitas eksternal. (Adhitya/AI)
Sumber : admin
Được in lại từ indopremier_id, bản quyền được giữ lại bởi tác giả gốc.
Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.
Website Cộng đồng Giao Dịch FOLLOWME: www.followme.asia
Bạn thích bài viết này? Hãy thể hiện sự cảm kích của bạn bằng cách gửi tiền boa cho tác giả.
Tải thất bại ()