
Industri penerbangan mulai bergerak menuju penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Salah satunya melalui pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF), bahan bakar alternatif yang diklaim lebih rendah emisi. Di Indonesia, Pertamina Patra Niaga menjadi salah satu pemain yang aktif mengembangkan SAF sebagai bagian dari transisi energi di sektor aviasi.
Langkah ini kembali disorot dalam ajang tahunan Indonesia Aero Summit (IAS) 2025 yang digelar di Jakarta. Forum ini menjadi ruang kolaborasi berbagai pihak, mulai dari pelaku industri penerbangan domestik dan internasional, regulator, hingga penyedia energi. Tahun ini, IAS mengusung tema "Co-Creating Indonesia's Aviation Golden Era."
Dalam salah satu sesi diskusi, Direktur Perencanaan & Pengembangan Bisnis Pertamina Patra Niaga, Harsono Budi Santoso, memaparkan tantangan pengembangan SAF di Indonesia. Mulai dari bahan baku, proses produksi, hingga kesiapan infrastruktur distribusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami telah mengembangkan teknologi co-processing di kilang untuk memproduksi SAF, dan kini sedang memasuki fase baru dengan pengembangan katalis khusus untuk menghasilkan SAF berbasis Used Cooking Oil (UCO). Namun, tantangannya tidak sederhana. Kualitas dan spesifikasi UCO yang masuk ke kilang sangat bervariasi, berbeda dengan pengalaman kami dalam mengolah minyak mentah konvensional," jelas Harsono dalam keterangannya, Rabu (6/8/2025).
Menurutnya, tidak seperti minyak mentah yang sudah baku dan konsisten, limbah minyak goreng sebagai bahan baku SAF punya kualitas yang bervariasi. Hal ini berdampak pada proses produksi di kilang yang harus lebih fleksibel.
Baca juga: Pertamina Produksi Bensin Ramah Lingkungan, Ini Daftarnya |
Di sisi hilir, Pertamina Patra Niaga juga mulai menyiapkan jalur distribusi SAF ke maskapai penerbangan. Beberapa bandara besar seperti Halim, Soekarno-Hatta, dan Ngurah Rai disebut sudah siap menyalurkan SAF. Namun, Harsono menyebut kunci keberlanjutan distribusi SAF tetap bergantung pada efisiensi rantai pasok dan dukungan kebijakan dari pemerintah.
"Kunci keberhasilan adopsi SAF tidak hanya terletak pada sisi produksi, tetapi juga pada bagaimana seluruh ekosistem dari penyedia feedstock, kilang, hingga maskapai dapat terhubung dalam satu rantai pasok yang solid dan efisien. Di sinilah peran regulasi dan kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting, agar solusi ini dapat tumbuh secara berkelanjutan," ujarnya.
Pertamina berharap ada dukungan lebih kuat dari sisi regulasi, termasuk dalam hal insentif ekonomi dan pengaturan harga bahan baku agar pelaku industri punya kepastian investasi untuk membangun kilang khusus SAF.
Saat ini, Pertamina juga telah mengantongi sertifikasi ISCC CORSIA (Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation) yang memungkinkan SAF digunakan dalam penerbangan internasional.
SAF sendiri merupakan drop-in fuel, artinya bisa langsung digunakan tanpa harus mengubah infrastruktur bandara, sistem distribusi, maupun mesin pesawat. Hal ini diyakini akan mempercepat proses adopsi di sektor aviasi.
Dengan sejumlah uji coba bersama maskapai, serta penyiapan distribusi dari kilang hingga tangki pesawat, Pertamina optimistis SAF bisa menjadi bahan bakar masa depan untuk mendukung pertumbuhan industri penerbangan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
(fdl/fdl)Được in lại từ republika_id, bản quyền được giữ lại bởi tác giả gốc.
Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.
Tải thất bại ()