- Rupiah diperdagangkan di Rp16.668/USD, dengan intervensi BI menjaga kestabilan di tengah tekanan eksternal.
 - Penandatanganan IEU-CEPA membuka peluang ekspor dan investasi, namun masih dihadang hambatan non-tarif.
 - Fokus utama tertuju pada rilis PCE Jumat, pasar masih akan mencermati pidato sejumlah pejabat The Fed.
 
Indeks Harga Rupiah (IDR) pada Rabu siang menjelang sesi Eropa diperdagangkan di Rp16.668 per dolar AS (USD), melemah 28 poin atau 0,17% dibanding penutupan sehari sebelumnya. Sepanjang hari, rupiah bergerak dalam rentang Rp16.642,7 hingga Rp16.710, memperlihatkan volatilitas yang masih terjaga namun tetap rentan terhadap tekanan eksternal. Pada sesi sebelumnya, rupiah memulai perdagangan di Rp16.600 per dolar AS dan perlahan merosot hingga menutup hari di sekitar Rp16.650-16.670. Upaya intervensi Bank Indonesia kembali terlihat untuk menjaga stabilitas nilai tukar di tengah tekanan eksternal. Dengan kondisi tersebut, pergerakan USD/IDR pada Rabu diproyeksikan berada dalam kisaran Rp16.640 hingga Rp16.730.
IEU-CEPA: Peluang Ekspor dan Investasi Baru
Dari sisi bilateral, Indonesia dan Uni Eropa pada Selasa resmi menandatangani perjanjian perdagangan bebas Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) di Nusa Dua, Bali. Pakta yang ditargetkan berlaku mulai 1 Januari 2027 ini akan menghapus lebih dari 90% tarif, termasuk bea masuk 50% untuk mobil Eropa yang akan dihapus secara bertahap dalam lima tahun. Uni Eropa memprakirakan penghematan tarif hingga €600 juta per tahun, sementara Indonesia menargetkan lonjakan ekspor sawit, kopi, tekstil, serta peluang investasi di energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Perjanjian ini diharapkan memperluas akses pasar bagi produk utama Indonesia sekaligus menarik investasi Eropa ke sektor energi bersih, mineral penting, dan industri kendaraan listrik. Dampaknya, rantai pasok domestik berpeluang semakin kuat, transfer teknologi meningkat, dan hilirisasi industri strategis terdorong lebih jauh. Namun, efektivitas implementasi tetap bergantung pada kemampuan Indonesia menghadapi hambatan non-tarif, terutama aturan deforestasi UE (EUDR), yang berpotensi membatasi manfaat penuh dari kesepakatan ini.
OECD: Risiko Perlambatan Global Masih Membayangi, Tarif AS Meningkat, Tekanan Inflasi Menguat
Optimisme atas kesepakatan ini hadir di tengah proyeksi perlambatan ekonomi dunia. OECD dalam laporannya memprakirakan pertumbuhan PDB global melambat dari 3,3% pada 2024 menjadi 2,9% di 2026, ditekan oleh tarif perdagangan yang lebih tinggi dan ketidakpastian kebijakan. Indonesia dinilai tangguh dengan pertumbuhan stabil di 4,9-5,0%, sementara inflasi global diproyeksikan turun dari 6,2% menjadi 2,9% pada 2026. Inflasi Indonesia pun relatif terjaga, di 2,2% pada 2024, turun tipis ke 1,9% di 2025, lalu naik moderat ke 2,7% di 2026.
Sementara itu, kenaikan tarif impor AS sejak 2024-2025 semakin nyata. Tarif legislasi melonjak ke 20-25%, dan tarif efektif berbasis nilai impor turut meningkat. Awalnya biaya ditahan margin perusahaan, namun kini beban tarif kian terasa, menekan perdagangan global dan berpotensi mendorong inflasi.
Pernyataan Pejabat The Fed Buka Ruang Spekulasi Baru
Faktor lain datang dari sisi kebijakan moneter AS. Pernyataan sejumlah pejabat The Fed menjadi sorotan pasar, mencerminkan perbedaan sikap terhadap inflasi dan arah suku bunga. Gubernur Michelle Bowman mendukung pemangkasan suku bunga 25 bp sebagai langkah proaktif menjaga pasar tenaga kerja. Ketua Jerome Powell menilai tarif hanya memberi dorongan inflasi jangka pendek, sedangkan Presiden Chicago Austan Goolsbee menegaskan target inflasi tetap 2% dengan sikap hati-hati. Raphael Bostic bahkan membuka ruang wacana rentang target inflasi di masa depan. Keragaman pandangan ini membuat dolar AS sedikit tertahan; indeks DXY ditutup di 97,64 dan siang ini melemah ke 97,38, memberi ruang stabilisasi bagi rupiah.
PMI AS Melemah, PCE Jadi Penentu Berikutnya
Dari sisi makro AS, serangkaian rilis Selasa malam memberi sinyal pelemahan aktivitas. Data awal PMI S&P Global untuk September menunjukkan penurunan indeks gabungan ke 53,6 dari 54,6, sedikit di bawah ekspektasi. Sektor jasa stagnan di 53,9, sementara manufaktur turun ke 52 dari sebelumnya 53. Melemahnya momentum ini menambah tekanan terhadap prospek ekonomi AS.
Selanjutnya, menjelang rilis utama Personal Consumption Expenditures (PCE) pada Jumat, pasar global terlebih dahulu akan mencermati serangkaian data penting dari Amerika Serikat pada Rabu dan Kamis. Dari sisi perumahan, data Penjualan Rumah Baru (New Home Sales) Agustus akan dirilis Rabu malam, diikuti pidato anggota The Fed Mary Daly. Sementara itu, Kamis menjadi hari yang padat dengan sederet indikator utama, termasuk PCE Inti kuartal II, PDB Disetahunkan kuartal II, Indeks Harga PDB, Pesanan Barang Tahan Lama, serta Klaim Tunjangan Pengangguran mingguan.
Pasar juga akan menyoroti sejumlah pidato pejabat The Fed seperti Goolsbee, Schmid, Williams, Bowman, Barr, dan Logan yang berpotensi memberi arahan tambahan terkait prospek kebijakan moneter. Kombinasi rilis data pertumbuhan, inflasi, dan ketenagakerjaan ini akan menjadi referensi penting bagi ekspektasi pasar sebelum fokus beralih ke PCE inflasi bulanan pada Jumat.
Được in lại từ FXStreet_id, bản quyền được giữ lại bởi tác giả gốc.
Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.


Tải thất bại ()