- Rupiah siang ini menguat ke Rp16.684 per dolar AS, naik 0,24% dari akhir pekan lalu.
- Yield SBN dan premi CDS melonjak, arus asing net sell Rp2,71 triliun minggu lalu.
- Pasar global waspada: ancaman shutdown AS bisa ganggu data dan sentimen pekan ini.
Rupiah menguat terhadap dolar AS menjelang pembukaan sesi Eropa pada Senin siang, dengan kurs spot tercatat di Rp16.676, menguat 50 poin atau 0,30% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu. Pasangan mata uang USD/IDR sempat dibuka di Rp16.689,9, mencetak tertinggi harian di Rp16.712,5, sebelum terkoreksi ke kisaran saat ini. Meski pergerakan hari ini mencerminkan konsolidasi sehat setelah pelemahan tajam rupiah pekan lalu, tekanan eksternal masih membayangi, terutama dari sisi global yield dan risiko kebijakan AS.
Tekanan Arus Modal Meningkat, BI Perkuat Respons Stabilitas Rupiah
Catatan mingguan Bank Indonesia yang dirilis Jumat lalu mengungkap sinyal kehati-hatian dari investor global terhadap aset domestik. Imbal hasil SBN bertenor 10 tahun naik ke 6,43%, dan terus bertahan di level tinggi 6,435% per 29 September, mencerminkan tekanan di pasar obligasi. Secara bersamaan, premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun melonjak tajam ke 83,18 bps, naik signifikan dari 69,59 bps sepekan sebelumnya. Lonjakan ini menandakan meningkatnya persepsi risiko terhadap fundamental keuangan Indonesia di mata pelaku pasar luar negeri.
Tekanan juga tercermin dari arus modal asing yang keluar dalam jumlah besar. Pada minggu keempat September, investor nonresiden mencatatkan jual neto sebesar Rp2,71 triliun, yang terdiri dari penjualan SBN dan SRBI, meskipun masih terdapat beli bersih terbatas di pasar saham. Sejak awal tahun, akumulasi jual neto asing mencapai Rp128,85 triliun di SRBI dan Rp51,34 triliun di saham, sementara pembelian bersih di pasar SBN hanya Rp36,25 triliun. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap arus modal belum mereda, dan menjadi beban tambahan bagi stabilitas rupiah, di tengah awal pelonggaran suku bunga oleh The Fed yang belum cukup kuat mengimbangi tekanan arus keluar modal dari pasar domestik.
Menanggapi dinamika ini, Bank Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar melalui seluruh instrumen yang tersedia. Strategi tersebut mencakup intervensi di pasar spot, pasar valas internasional, serta pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder. Langkah ini bertujuan agar tekanan jangka pendek terhadap rupiah tidak berkembang menjadi disrupsi sistemik dalam stabilitas keuangan nasional.
Data PCE AS Sesuai Ekspektasi, Sentimen Konsumen Justru Melemah
Dari sisi fundamental global, data ekonomi Amerika Serikat yang dirilis Jumat malam menunjukkan kombinasi arah yang beragam. Indeks Harga Konsumsi Pribadi (PCE) bulan Agustus naik 0,3% MoM dan 2,7% YoY – selaras dengan ekspektasi pasar. Sementara itu, PCE Inti, yang mengecualikan harga pangan dan energi, naik 0,2% MoM dan 2,9% YoY, mengindikasikan tekanan inflasi inti yang masih bertahan. Pendapatan pribadi naik 0,4%, sesuai konsensus, sedangkan belanja pribadi tumbuh 0,8%, sedikit di atas proyeksi 0,5%, mencerminkan konsumsi rumah tangga yang tetap solid. Namun demikian, sentimen konsumen mulai melemah: indeks Universitas Michigan turun tipis ke 55,1 dari sebelumnya 55,4, disertai revisi ekspektasi inflasi 1 tahun ke 4,7% dan 5 tahun ke 3,7%.
Shutdown Mengancam, Data Tenaga Kerja AS Jadi Penentu Arah Dolar Pekan Ini
Pasar global kini memasuki awal pekan dengan kewaspadaan tinggi, menyusul ketidakpastian dari Washington. Presiden Donald Trump dijadwalkan bertemu para pemimpin Kongres pada Senin untuk membahas pendanaan pemerintah federal. Jika tidak ada kesepakatan, government shutdown dapat dimulai pada 1 Oktober, bertepatan dengan implementasi tarif tambahan pada truk, farmasi, dan produk lainnya. Risiko ini dapat memperkeruh sentimen global dan mengganggu jadwal rilis data ekonomi penting.
Jika kebuntuan anggaran berlanjut, sejumlah laporan utama seperti Nonfarm Payrolls (NFP) bulan September berpotensi tertunda, menambah ketidakpastian arah kebijakan The Fed. Namun sebelum itu, pasar akan mencermati beberapa rilis penting: data JOLTS untuk Agustus (Selasa), yang meski bersifat lagging, dapat menimbulkan reaksi jika hasilnya jauh di bawah 7 juta atau melampaui 7,5 juta. Di pertengahan minggu, fokus akan tertuju pada laporan Perubahan Ketenagakerjaan ADP dan indeks PMI Manufaktur ISM untuk September. Jika ADP mencatat tambahan tenaga kerja lebih dari 70.000 dan PMI kembali ke atas 50, dolar AS dapat memperkuat momentumnya, menekan rupiah dan mata uang emerging markets lainnya.
Puncak perhatian akan tertuju pada rilis NFP hari Jumat, yang berpotensi menjadi katalis volatilitas besar. Setelah beberapa bulan mencatat hasil mengecewakan, laporan lemah lainnya dapat memperkuat ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan pada Desember. Dalam skenario tersebut, dolar AS bisa kehilangan kekuatan, sementara imbal hasil Treasury berpotensi menurun, memberi ruang bagi rupiah untuk pulih—jika sentimen risiko global juga ikut membaik.
Pertanyaan Umum Seputar Sentimen Risiko
Dalam dunia jargon keuangan, dua istilah yang umum digunakan, yaitu "risk-on" dan "risk off" merujuk pada tingkat risiko yang bersedia ditanggung investor selama periode yang dirujuk. Dalam pasar "risk-on", para investor optimis tentang masa depan dan lebih bersedia membeli aset-aset berisiko. Dalam pasar "risk-off", para investor mulai "bermain aman" karena mereka khawatir terhadap masa depan, dan karena itu membeli aset-aset yang kurang berisiko yang lebih pasti menghasilkan keuntungan, meskipun relatif kecil.
Biasanya, selama periode "risk-on", pasar saham akan naik, sebagian besar komoditas – kecuali Emas – juga akan naik nilainya, karena mereka diuntungkan oleh prospek pertumbuhan yang positif. Mata uang negara-negara yang merupakan pengekspor komoditas besar menguat karena meningkatnya permintaan, dan Mata Uang Kripto naik. Di pasar "risk-off", Obligasi naik – terutama Obligasi pemerintah utama – Emas bersinar, dan mata uang safe haven seperti Yen Jepang, Franc Swiss, dan Dolar AS semuanya diuntungkan.
Dolar Australia (AUD), Dolar Kanada (CAD), Dolar Selandia Baru (NZD) dan sejumlah mata uang asing minor seperti Rubel (RUB) dan Rand Afrika Selatan (ZAR), semuanya cenderung naik di pasar yang "berisiko". Hal ini karena ekonomi mata uang ini sangat bergantung pada ekspor komoditas untuk pertumbuhan, dan komoditas cenderung naik harganya selama periode berisiko. Hal ini karena para investor memprakirakan permintaan bahan baku yang lebih besar di masa mendatang karena meningkatnya aktivitas ekonomi.
Sejumlah mata uang utama yang cenderung naik selama periode "risk-off" adalah Dolar AS (USD), Yen Jepang (JPY) dan Franc Swiss (CHF). Dolar AS, karena merupakan mata uang cadangan dunia, dan karena pada masa krisis para investor membeli utang pemerintah AS, yang dianggap aman karena ekonomi terbesar di dunia tersebut tidak mungkin gagal bayar. Yen, karena meningkatnya permintaan obligasi pemerintah Jepang, karena sebagian besar dipegang oleh para investor domestik yang tidak mungkin menjualnya – bahkan saat dalam krisis. Franc Swiss, karena undang-undang perbankan Swiss yang ketat menawarkan perlindungan modal yang lebih baik bagi para investor.
Được in lại từ FXStreet_id, bản quyền được giữ lại bởi tác giả gốc.
Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.



Tải thất bại ()