- Risiko stabilitas meningkat - Kebijakan pertumbuhan agresif dan injeksi likuiditas Rp200 triliun berpotensi memicu volatilitas rupiah, pelebaran defisit fiskal, dan kenaikan inflasi.
- Inflasi relatif stabil - Inflasi September 2025 tercatat 2,65% yoy (0,2% mom), kenaikan tahunan dipengaruhi low base, sementara dampak injeksi likuiditas belum terlihat karena permintaan domestik masih lemah.
- Sinyal pelemahan industri - PMI Manufaktur S&P turun ke 50,4 pada September, mendekati zona kontraksi, terutama di subsektor tembakau, tekstil, kulit, dan kayu.
Ipotnews - Potensi peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah membayangi perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.
Risiko tersebut muncul seiring kebijakan pemerintah yang mendorong pertumbuhan dengan segala cara, di tengah injeksi likuiditas besar-besaran.
Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menilai pasar keuangan saat ini memang masih didukung oleh likuiditas yang melimpah, terutama setelah pemerintah menggelontorkan dana Rp200 triliun. Ditambah lagi, ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan ikut menopang sentimen positif di pasar.
"Namun, arah kebijakan yang terlalu agresif berisiko terhadap stabilitas. Kami melihat potensi peningkatan volatilitas rupiah, pelebaran defisit fiskal, serta inflasi yang lebih tinggi," kata Rully dalam publikasi risetnya, Selasa (7/10).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi September 2025 naik menjadi 2,65% year on year (yoy), meski secara bulanan relatif stabil di level 0,2% month on month (mom). Menurut Rully, kenaikan tahunan itu sebagian dipicu faktor basis rendah pada September 2024, sementara dampak injeksi Rp200 triliun terhadap inflasi belum terlihat nyata.
Ia menambahkan, pengaruh likuiditas terhadap inflasi sangat bergantung pada arah penggunaan dana serta kondisi permintaan domestik. "Permintaan masyarakat Indonesia saat ini masih lemah, sebagaimana terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), pesimisme terhadap ketersediaan lapangan kerja, serta porsi belanja rumah tangga yang lebih besar untuk kebutuhan pokok dan pembayaran utang," jelas Rully.
Sementara itu, indikator manufaktur juga menunjukkan pelemahan. Indeks PMI Manufaktur S&P turun ke 50,4 pada September 2025, dari 51,5 di Agustus. Angka itu nyaris keluar dari zona ekspansi akibat penurunan pesanan baru dan produksi. Sub-sektor yang paling tertekan meliputi industri tembakau, tekstil, kulit dan turunannya, serta kayu dan produk olahan kayu.(Adhitya/AI)
Sumber : admin
Được in lại từ indopremier_id, bản quyền được giữ lại bởi tác giả gốc.
Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.
        Bạn thích bài viết này? Hãy thể hiện sự cảm kích của bạn bằng cách gửi tiền boa cho tác giả.
        



Tải thất bại ()