Harga Minyak Merosot Lebih dari 1% Pasca Kesepakatan Hamas dan Israel

• Harga minyak turun setelah Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza; Brent melemah 1,6% ke USD65,22, dan WTI turun 1,7% ke USD61,51.
• Gencatan senjata mencakup penghentian pertempuran, penarikan sebagian pasukan Israel, serta pembebasan sandera dan tahanan sebagai bagian dari inisiatif perdamaian Presiden Trump.
• Analis menilai kesepakatan ini bisa meredakan ketegangan di Timur Tengah dan berdampak luas pada pasar minyak, di tengah rencana OPEC + menaikkan produksi lebih kecil dari perkiraan dan tarif perdagangan AS-India yang masih tinggi.

Ipotnews - Harga minyak merosot, Kamis, setelah Israel dan kelompok militan Palestina Hamas menandatangani kesepakatan gencatan senjata di Gaza, menandai langkah besar menuju berakhirnya konflik yang telah mengguncang pasar energi dunia selama beberapa bulan terakhir.
Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup melorot USD1,03 atau 1,6% menjadi USD65,22 per barel, demikian laporan  Reuters,  di Houston, Kamis (9/10) atau Jumat (10/10) pagi WIB.
Sementara, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) kehilangan USD1,04 atau 1,7% menjadi USD61,51 per barel.
Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari inisiatif perdamaian Presiden AS Donald Trump, yang mencakup penghentian pertempuran, penarikan sebagian pasukan Israel dari Gaza, serta pembebasan seluruh sandera Israel oleh Hamas sebagai imbalan bagi ratusan tahanan Palestina yang ditahan di Israel.
"Minyak mentah berjangka sedang berada dalam fase koreksi seiring meredanya konflik Israel-Hamas," ujar Dennis Kissler, Vice President BOK Financial.
Sementara itu, Claudio Galimberti, Kepala Ekonom Rystad Energy, menyebut kesepakatan damai tersebut sebagai "terobosan besar dalam sejarah Timur Tengah" yang dapat memiliki implikasi luas bagi pasar minyak global.
"Dampaknya bisa mencakup penurunan serangan kelompok Houthi di Laut Merah, hingga meningkatnya peluang tercapainya kesepakatan nuklir baru dengan Iran," kata Galimberti dalam catatannya.
Sebelumnya, Organisasi Negara Eksportir Minyak dan sekutunya di OPEC +, Minggu lalu, menyetujui kenaikan produksi moderat sebesar 137.000 barel per hari (bph) mulai November, sedikit di bawah ekspektasi pasar. Keputusan ini membantu meredakan kekhawatiran akan kelebihan pasokan di tengah fluktuasi geopolitik.
Harga minyak sempat melonjak sekitar 1%, Rabu, menyentuh level tertinggi satu pekan, setelah investor menilai mandeknya pembicaraan damai Ukraina sebagai sinyal bahwa sanksi terhadap Rusia--eksportir minyak terbesar kedua dunia--masih akan berlangsung lama.
Dari sisi politik AS, upaya Partai Demokrat dan Republik untuk mengakhiri penutupan sebagian pemerintahan (government shutdown) masih menemui jalan buntu di Senat. Ketidakpastian ini dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan ekonomi AS dan permintaan minyak.
Di sisi lain, Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan telah berbicara dengan Presiden Trump, membahas kemajuan dalam negosiasi perdagangan. Namun, hubungan kedua negara masih tegang setelah Trump menggandakan tarif impor atas barang-barang India menjadi 50%, salah satu yang tertinggi di antara mitra dagang AS, sebagai respons atas lanjutnya impor minyak Rusia oleh New Delhi.
Selain itu, pemerintahan Trump juga menjatuhkan sanksi terhadap sekitar 100 individu, entitas, dan kapal, termasuk kilang independen dan terminal di China, yang diduga membantu perdagangan minyak dan petrokimia Iran.
Analis memperkirakan harga minyak berpotensi bergerak fluktuatif dalam jangka pendek, dengan pasar menimbang efek perdamaian di Timur Tengah, kebijakan produksi OPEC +, serta dampak perlambatan ekonomi global akibat kebuntuan politik di Amerika. (Reuters/AI)

Sumber : Admin