Ketegangan Amerika-China Guncang Pasar, Harga Minyak Merosot

• Harga minyak merosot lebih dari 1% akibat kekhawatiran ketegangan dagang terbaru antara AS-China akan menekan permintaan global terhadap bahan bakar.
• Ketidakpastian geopolitik meningkat setelah kedua negara saling memberlakukan sanksi dan tarif pelabuhan tambahan, sementara prospek pertemuan Trump-Xi di KTT APEC masih diragukan.
• Pasokan jangka pendek dinilai cukup, tercermin dari penyempitan struktur backwardation dan proyeksi OPEC + yang menunjukkan defisit pasokan global akan menyempit pada 2026.

Ipotnews -- Harga minyak berbalik melemah, Selasa, setelah sempat menguat di awal sesi. Pelemahan ini dipicu ketidakpastian yang kembali mencuat dalam hubungan dagang antara Amerika-China, dua ekonomi terbesar dunia, yang dikhawatirkan akan menekan permintaan bahan bakar secara global.
Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, merosot 68 sen atau 1,07 persen menjadi USD62,64 per barel pada pukul 14.12 WIB, demikian laporan  Reuters  dan  Bloomberg,  di Singapura, Selasa (14/10).
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), menyusut 64 sen atau 1,08 persen menjadi USD59,85 per barel. Pada sesi sebelumnya, Brent tercatat menguat 0,9 persen, dan WTI ditutup melonjak satu persen.
Ketegangan geopolitik antara AS dan China kembali meningkat setelah berbagai kebijakan saling balas diberlakukan. Beijing mengumumkan sanksi terhadap lima anak usaha perusahaan galangan kapal asal Korea Selatan yang terkait dengan Amerika, Hanwha Ocean.
Di sisi lain, kedua negara juga mulai menerapkan biaya tambahan pelabuhan terhadap perusahaan pelayaran yang mengangkut berbagai komoditas, mulai dari mainan hingga minyak mentah. Langkah ini memperburuk sentimen pasar yang telah rapuh.
Meski pembicaraan teknis tingkat kerja antara kedua negara masih berlangsung, retorika keras terus bermunculan. China menegaskan siap "berjuang sampai akhir" jika diperlukan, sementara Presiden AS Donald Trump sempat meragukan urgensi pertemuan dengan Presiden Xi Jinping dalam KTT APEC di Korea Selatan pada 30 Oktober hingga 1 November. "Sekarang tampaknya tidak ada alasan untuk melakukannya," tulis Trump di platform  Truth Social. 
Suvro Sarkar, Kepala Tim Energi DBS Bank, menyatakan pasar minyak sangat peka terhadap pernyataan dari kedua kubu, meski pergerakan harga dalam jangka pendek diperkirakan tetap dalam kisaran terbatas. Menurutnya, volatilitas bisa meningkat seiring munculnya pernyataan keras dari masing-masing pihak.
Di sisi pasokan, pasar juga dibebani oleh perkembangan dalam struktur harga minyak. Premi kontrak WTI front month terhadap kontrak bulan ketujuh tercatat sebagai yang paling sempit sejak Januari 2024.
Hal ini menunjukkan pelaku pasar melihat pasokan jangka pendek masih cukup melimpah, terutama karena peningkatan output dari OPEC + dan turunnya permintaan akibat perawatan kilang musiman di Amerika Serikat.
Fenomena ini dikenal sebagai penyempitan backwardation, yakni ketika harga minyak untuk pengiriman segera tidak lagi memberikan premi besar atas pengiriman jangka panjang.
Ini menandakan bahwa peluang keuntungan dari penjualan minyak di pasar spot mulai menipis karena pasokan jangka pendek dinilai mencukupi.
Dalam laporan bulanan yang dirilis Senin, Organisasi Negara Eksportir Minyak ( OPEC ) dan sekutunya, termasuk Rusia, dikenal sebagai OPEC +, menyatakan defisit pasokan minyak global diperkirakan menyempit pada 2026.
Proyeksi ini didasarkan pada rencana aliansi OPEC + untuk terus meningkatkan produksi secara bertahap dalam dua tahun ke depan.
Kombinasi antara ketegangan geopolitik, ketidakpastian pertemuan tingkat tinggi, serta prospek peningkatan pasokan membuat pasar minyak bergerak hati-hati.
Pelaku pasar kini menanti sinyal lebih lanjut dari pertemuan APEC serta perkembangan pembicaraan antara Washington dan Beijing sebelum mengambil posisi lebih agresif di pasar energi global. (Reuters/Bloomberg/AI)

Sumber : Admin