Rupiah Menguat Tipis Didukung Program BLT Dan Ekspektasi Penurunan BI Rate

• Rupiah menguat tipis ke level Rp16.575 per dolar AS pada Senin (20/10), ditopang oleh tambahan stimulus BLT Kesejahteraan Rakyat senilai Rp30 triliun dan ekspektasi penurunan suku bunga BI rate menjadi 4,5%.
• Ibrahim Assuaibi menilai kebijakan BLT hanya berdampak jangka pendek terhadap ekonomi; untuk pertumbuhan berkelanjutan, pemerintah perlu fokus pada ekspor, investasi, dan peningkatan kualitas SDM.
• Penguatan dolar AS menahan laju rupiah, dipicu oleh sinyal beragam dari pejabat The Fed dan ketidakpastian politik AS, meskipun pasar menilai peluang pemangkasan suku bunga AS semakin besar.

Ipotnews - Nilai tukar rupiah menguat tipis pada awal pekan ini, ditopang oleh sentimen positif dari tambahan stimulus fiskal pemerintah dan ekspektasi penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Mengutip data Bloomberg, Senin (20/10) pukul 15.00 WIB, kurs rupiah akhirnya ditutup pada level Rp16.575 per dolar AS, posisi tersebut menguat 15 poin atau 0,09% dibandingkan akhir perdagangan Jumat sore (17/10) di level Rp16.590 per dolar AS.
Pengamat ekonomi, mata uang, dan komoditas Ibrahim Assuaibi menilai, penguatan rupiah dipengaruhi oleh kombinasi faktor domestik, terutama stimulus fiskal berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kesejahteraan Rakyat dan ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter BI pada pekan ini.
"Tambahan anggaran BLT dan kemungkinan penurunan suku bunga BI rate menjadi sentimen positif bagi pasar, karena keduanya bisa memperkuat daya beli masyarakat dan menjaga likuiditas di sistem keuangan," kata Ibrahim, dalam publikasi risetnya sore ini.
Pemerintah baru saja mengumumkan tambahan anggaran Rp30 triliun untuk program BLT Kesejahteraan Rakyat, yang akan diberikan kepada 35 juta keluarga penerima manfaat selama periode Oktober-Desember 2025. Langkah ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat di tengah tekanan harga pangan dan memperkuat konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2025.
Meski demikian, Ibrahim menilai bahwa kebijakan berbasis konsumsi seperti BLT hanya memberikan efek sementara terhadap pertumbuhan ekonomi.
"BLT bisa membantu menjaga permintaan dalam jangka pendek, tapi untuk memperkuat ekonomi secara berkelanjutan, pemerintah perlu memperbesar kebijakan yang mendorong ekspor, investasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia," jelas Ibrahim.
Selain stimulus fiskal, pelaku pasar juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang dijadwalkan berlangsung Rabu (22/10). Konsensus pasar memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5% guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga momentum pemulihan sektor riil.
"Jika BI menurunkan suku bunga, tekanan terhadap rupiah mungkin muncul sementara. Namun dalam jangka menengah, langkah tersebut positif karena memperkuat daya saing investasi dan konsumsi domestik," imbuh Ibrahim.
Dari sisi eksternal, penguatan rupiah sangat terbatas karena masih dibayangi oleh penguatan indeks dolar AS. Penguatan dolar didorong oleh komentar Presiden AS Donald Trump yang menyatakan akan melanjutkan perundingan dagang dengan Tiongkok, namun mengakui bahwa tarif tinggi terhadap Negeri Tirai Bambu "tidak berkelanjutan."
Selain itu, sejumlah pejabat Federal Reserve memberikan sinyal berbeda soal arah kebijakan suku bunga. Alberto Musalem dari The Fed St. Louis mendukung penurunan suku bunga pada Oktober, sementara Neel Kashkari dari The Fed Minneapolis menilai ekonomi AS belum melambat signifikan.
"Komentar yang beragam dari pejabat The Fed dan situasi politik AS yang masih bergejolak membuat dolar tetap kuat, meskipun peluang pemangkasan suku bunga semakin besar," tutur Ibrahim.(Adhitya/AI)

Sumber : admin