- Rupiah turun 0,21% ke Rp16.626,3 per dolar AS menjelang sesi Eropa, dengan rentang perdagangan sempit Rp16.595-Rp16.639.
- Pasar menahan langkah menanti rilis data inflasi AS dan sinyal lanjutan dari kebijakan moneter Bank Indonesia.
- Sentimen global masih rapuh, diwarnai rencana pertemuan perdagangan AS-Tiongkok dan kebuntuan fiskal di Washington.
Rupiah (IDR) terdepresiasi ke Rp16.626,3 per dolar AS (USD) pada perdagangan Jumat siang menjelang sesi Eropa, melemah 34,6 poin atau 0,21% dibanding sesi sebelumnya. Kurs bergerak relatif sempit di rentang Rp16.595,8-Rp16.639, mencerminkan fase konsolidasi pasar menjelang rilis data inflasi AS malam ini.
Dalam sepekan terakhir rupiah masih melemah tipis sekitar 0,25%, mengikuti penguatan dolar AS yang ditopang ekspektasi inflasi tinggi dan ketidakpastian fiskal di Washington. Namun secara bulanan rupiah masih menguat tipis 0,32%, menandakan stabilisasi sementara setelah pelemahan tajam bulan sebelumnya. Secara tahunan, rupiah masih melemah sekitar 6,7%, mencerminkan tekanan berkepanjangan akibat selisih suku bunga dan arus modal asing yang lebih condong ke aset dolar.
Secara teknis, pergerakan rupiah menunjukkan kecenderungan sideways setelah gagal menembus area support kuat di Rp16.580. Level psikologis Rp16.700 kini menjadi batas resistance terdekat, sementara area Rp16.550 dipandang sebagai support penting jangka pendek. Volume perdagangan cenderung menurun, menandakan investor menunggu konfirmasi dari data inflasi AS sebelum mengambil posisi baru.
BI Pertahankan Suku Bunga, Fokus pada Transmisi Kredit
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan bahwa keputusan menahan BI-Rate di 4,75% bertujuan memberi waktu bagi dampak pelonggaran sebelumnya untuk tersalurkan ke sektor riil. Fokus utama BI kini bergeser pada efektivitas transmisi kebijakan moneter, khususnya penurunan suku bunga kredit perbankan dan stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian global.
Menurut Perry, ruang pelonggaran moneter masih terbuka didukung inflasi yang terkendali dan likuiditas yang longgar, namun setiap langkah lanjutan akan mempertimbangkan dinamika eksternal dan arus modal asing. Ekonom DBS Bank, Radhika Rao, memprakirakan masih ada peluang satu kali pemangkasan tambahan sebesar 25-50 bp hingga awal tahun depan, seiring upaya BI menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas nilai tukar.
AS-Tiongkok Jadwalkan Dua Pertemuan Tingkat Tinggi, Pasar Global Harap Ketegangan Dagang Mereda
Dari eksternal, dalam dinamika perdagangan global yang kembali memanas, Tiongkok memastikan akan melangsungkan pembicaraan resmi dengan Amerika Serikat pada Jumat mendatang, di tengah meningkatnya tensi antara dua ekonomi terbesar dunia itu. Pertemuan tersebut akan menghadirkan Wakil Perdana Menteri Tiongkok He Lifeng, bersama Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Perdagangan Jamieson Greer, menandai upaya terbaru kedua negara untuk meredakan ketegangan sekaligus membuka ruang dialog mengenai kebijakan tarif dan akses pasar.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa pertemuan yang telah lama dinantikan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping kini resmi dijadwalkan pada Kamis depan, memberi sedikit kelegaan bagi pasar keuangan yang belakangan dilanda kekhawatiran atas eskalasi perang dagang.
Fokus Tertuju pada Inflasi AS
Sementara itu, kebuntuan politik di Washington belum menemukan jalan keluar. RUU pendanaan sementara kembali gagal di Senat dengan suara 54-46, memperpanjang shutdown pemerintah AS yang kini memasuki hari ke-24, menjadi salah satu yang terpanjang dalam sejarah.
Dengan sebagian besar data ekonomi terhenti, fokus pasar kini beralih ke laporan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang akan dirilis hari ini. The Fed diprakirakan akan mencermati inflasi inti yang diproyeksikan naik 0,3% MoM dan 3,1% YoY – hasil di atas prakiraan dapat memperkuat dolar AS dan menekan mata uang Asia, termasuk rupiah.
Pasar Menyusun Ulang Narasi Dolar di Tengah Ketegangan Global
Kepala Strategi Valas Scotiabank, Shaun Osborne dan Eric Theoret, mencatat bahwa meski laporan WSJ tentang rencana AS mengambil saham di perusahaan komputasi kuantum sempat meningkatkan sentimen, pasar tetap fokus pada data inflasi (IHK) AS yang akan dirilis Jumat. Mereka menilai penurunan suku bunga The Fed sebesar 25 bp sudah sepenuhnya diantisipasi, sehingga data inflasi diprakirakan tidak banyak mengubah ekspektasi pasar. Meski begitu, indeks dolar (DXY) diprakirakan masih berpotensi menguat ke area pertengahan 99 sebelum kemungkinan memasuki fase konsolidasi pada November.
Tim Riset Wells Fargo menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% tahun ini, ditopang revisi naik pada AS dan Tiongkok, meski risiko meningkat akibat ketegangan perdagangan. Bank juga memprakirakan The Fed akan memangkas suku bunga 100 bp hingga pertengahan 2026, mendorong pelemahan dolar hingga tahun depan sebelum rebound pada paruh kedua 2026, seiring pemulihan ekonomi dan menguatnya kembali status safe haven dolar AS.
Dengan latar ini, rupiah diprakirakan bergerak di kisaran Rp16.580-Rp16.700 dalam jangka pendek, dengan arah selanjutnya sangat bergantung pada hasil data inflasi AS dan tindak lanjut kebijakan BI dalam menjaga efektivitas transmisi suku bunga ke sektor riil.
Pertanyaan Umum Seputar PERANG DAGANG AS-TIONGKOK
Secara umum, perang dagang adalah konflik ekonomi antara dua negara atau lebih akibat proteksionisme yang ekstrem di satu sisi. Ini mengimplikasikan penciptaan hambatan perdagangan, seperti tarif, yang mengakibatkan hambatan balasan, meningkatnya biaya impor, dan dengan demikian biaya hidup.
Konflik ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada awal 2018, ketika Presiden Donald Trump menetapkan hambatan perdagangan terhadap Tiongkok, mengklaim praktik komersial yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual dari raksasa Asia tersebut. Tiongkok mengambil tindakan balasan, memberlakukan tarif pada berbagai barang AS, seperti mobil dan kedelai. Ketegangan meningkat hingga kedua negara menandatangani kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok Fase Satu pada Januari 2020. Perjanjian tersebut mengharuskan reformasi struktural dan perubahan lain pada rezim ekonomi dan perdagangan Tiongkok serta berpura-pura mengembalikan stabilitas dan kepercayaan antara kedua negara. Pandemi Coronavirus mengalihkan fokus dari konflik tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Presiden Joe Biden, yang menjabat setelah Trump, mempertahankan tarif yang ada dan bahkan menambahkan beberapa pungutan lainnya.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden AS ke-47 telah memicu gelombang ketegangan baru antara kedua negara. Selama kampanye pemilu 2024, Trump berjanji untuk memberlakukan tarif 60% terhadap Tiongkok begitu ia kembali menjabat, yang ia lakukan pada tanggal 20 Januari 2025. Perang dagang AS-Tiongkok dimaksudkan untuk dilanjutkan dari titik terakhir, dengan kebijakan balas-membalas yang mempengaruhi lanskap ekonomi global di tengah gangguan dalam rantai pasokan global, yang mengakibatkan pengurangan belanja, terutama investasi, dan secara langsung berdampak pada inflasi Indeks Harga Konsumen.
Được in lại từ FXStreet_id, bản quyền được giữ lại bởi tác giả gốc.
Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.


Tải thất bại ()