Rupiah Melemah meski The Fed Pangkas Suku Bunga

avatar
· Views 20
  • Rupiah turun 0,70% ke Rp16.631 menjelang sesi Eropa setelah keputusan The Fed memangkas suku bunga.
  • Indeks Dolar AS terkoreksi ke 99,00, sementara pelaku pasar menakar arah kebijakan moneter berikutnya.
  • Trump umumkan kesepakatan awal dengan Tiongkok, termasuk pemangkasan tarif dan kelanjutan ekspor logam tanah jarang.

Menjelang sesi Eropa pada Kamis, rupiah melemah 0,70% ke Rp16.631 per dolar AS, bergerak dalam rentang Rp16.565-Rp16.636. Pelemahan ini mencerminkan fase konsolidasi pasar setelah Federal Reserve menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 3,75%-4,00%, sesuai ekspektasi. Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) melemah ke 99,00 dari puncak kemarin di 99,35, menandakan pasar global mulai menilai ulang keseimbangan arah kebijakan moneter.

Meskipun dolar global melemah, rupiah justru bergerak defensif. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap mata uang domestik tidak hanya bersumber dari faktor eksternal, melainkan juga dari arus modal dan dinamika likuiditas domestik. Sejumlah pelaku pasar menilai selisih suku bunga riil antara Indonesia dan AS berpotensi menyempit, sehingga ruang bagi carry trade jangka pendek terhadap rupiah menjadi lebih terbatas. Di saat yang sama, permintaan korporasi atas dolar meningkat menjelang akhir bulan untuk pembayaran impor dan kewajiban luar negeri, memperketat likuiditas pasar valas.

Alih-alih mengambil posisi agresif, investor tampak menunggu konfirmasi lebih lanjut dari The Fed. Nada hati-hati Ketua Jerome Powell, yang menegaskan pemangkasan lanjutan pada Desember belum pasti, membuat pelaku pasar memilih bertahan di zona aman. Di sisi teknis, USD/IDR diprakirakan bergerak di kisaran 16.550-16.650, dengan kecenderungan rupiah masih tertekan menjelang akhir pekan, sambil menunggu katalis baru dari arah kebijakan moneter dan arus portofolio asing.

Sinyal Hati-Hati The Fed di Tengah Inflasi yang Masih Kuat

Dalam pernyataannya, The Fed menilai ekonomi AS tetap tumbuh moderat, meski lapangan kerja mulai melambat dan inflasi bertahan tinggi di tengah ketidakpastian global. Keputusan ini disetujui oleh 10 dari 12 anggota FOMC, dengan pandangan berbeda terkait besaran pemangkasan. Bank sentral juga mengumumkan akan mengakhiri kebijakan pengurangan neraca (quantitative tightening) pada 1 Desember, serta mulai menggulung kembali pembayaran obligasi ke surat utang pemerintah AS — sebuah langkah yang menandai pergeseran menuju sikap moneter yang lebih netral.

Dalam konferensi pers, Jerome Powell menyebut bahwa prospek ekonomi dan inflasi relatif stabil, meskipun data sebelumnya menunjukkan aktivitas sempat menguat sebelum penutupan pemerintah. Ia menegaskan permintaan tenaga kerja melemah, sementara inflasi berada di 2,8% (PCE dan inti PCE). Meski begitu, disinflasi di sektor jasa dan perumahan terus berlanjut, memberi harapan bahwa tekanan harga mulai terkendali. Powell menilai risiko inflasi kini meningkat sementara risiko terhadap ketenagakerjaan menurun, sehingga kebijakan moneter perlu dijaga tetap seimbang dan berhati-hati.

Dukungan Fiskal Domestik yang Menenangkan Pasar

Dari dalam negeri, sentimen terhadap rupiah sedikit terbantu oleh langkah Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga secara tak terduga, langkah yang menurut Reuters membantu memulihkan kepercayaan pasar setelah periode fluktuasi akibat ketidakpastian fiskal dan politik.

Di sisi lain, pemerintah berupaya memperkuat pondasi ekonomi domestik melalui rencana pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Pada hari Selasa, Wakil Menteri Koperasi RI Farida Farichah mengungkap bahwa Danantara menyiapkan plafon kredit Rp210 triliun bagi sekitar 80.000 KDMP, disalurkan melalui bank-bank Himbara (BNI, Mandiri, BRI, dan BSI). Meski mekanisme pendanaan belum dijelaskan, APBN 2026 telah mengalokasikan Rp83 triliun, dengan target operasional mundur ke Maret 2026.

Secara umum, rencana ini dinilai netral hingga sedikit positif bagi rupiah. Jika pendanaan berasal dari APBN atau Danantara tanpa menggerus likuiditas pasar uang, dampaknya terhadap nilai tukar cenderung terbatas. Namun, percepatan pembiayaan desa berpotensi meningkatkan sirkulasi uang dan aktivitas ekonomi riil, yang dalam jangka menengah bisa memperkuat daya tahan rupiah.

Isyarat Deeskalasi Perdagangan

Sementara dari kancah global, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa tarif impor terhadap Tiongkok dipangkas menjadi 47% dari 57%, sebagai bagian dari kesepakatan baru di mana Beijing akan melanjutkan pembelian kedelai AS, menjaga ekspor logam tanah jarang (rare earth) selama setahun, dan menindak perdagangan gelap fentanil. Meski belum ada tanggapan resmi dari Tiongkok, langkah ini dipandang sebagai isyarat awal deeskalasi perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia.

KTT bilateral di Korea Selatan yang berlangsung hampir dua jam menjadi momen penting membangun kembali ruang dialog – langkah kecil, namun berarti, bagi penurunan tensi perdagangan global.

Ke depan, rupiah kemungkinan akan bergerak stabil dengan kecenderungan melemah terbatas, sambil menunggu arah komunikasi The Fed, arus portofolio asing, dan realiasi pendanaan fiskal domestik di tengah minimnya rilis data dari AS dan Indonesia. Kombinasi antara kebijakan global yang berhati-hati dan inisiatif domestik yang mulai konkret akan menjadi faktor penentu stabilitas rupiah hingga akhir tahun.

Pertanyaan Umum Seputar Sentimen Risiko

Dalam dunia jargon keuangan, dua istilah yang umum digunakan, yaitu "risk-on" dan "risk off" merujuk pada tingkat risiko yang bersedia ditanggung investor selama periode yang dirujuk. Dalam pasar "risk-on", para investor optimis tentang masa depan dan lebih bersedia membeli aset-aset berisiko. Dalam pasar "risk-off", para investor mulai "bermain aman" karena mereka khawatir terhadap masa depan, dan karena itu membeli aset-aset yang kurang berisiko yang lebih pasti menghasilkan keuntungan, meskipun relatif kecil.

Biasanya, selama periode "risk-on", pasar saham akan naik, sebagian besar komoditas – kecuali Emas – juga akan naik nilainya, karena mereka diuntungkan oleh prospek pertumbuhan yang positif. Mata uang negara-negara yang merupakan pengekspor komoditas besar menguat karena meningkatnya permintaan, dan Mata Uang Kripto naik. Di pasar "risk-off", Obligasi naik – terutama Obligasi pemerintah utama – Emas bersinar, dan mata uang safe haven seperti Yen Jepang, Franc Swiss, dan Dolar AS semuanya diuntungkan.

Dolar Australia (AUD), Dolar Kanada (CAD), Dolar Selandia Baru (NZD) dan sejumlah mata uang asing minor seperti Rubel (RUB) dan Rand Afrika Selatan (ZAR), semuanya cenderung naik di pasar yang "berisiko". Hal ini karena ekonomi mata uang ini sangat bergantung pada ekspor komoditas untuk pertumbuhan, dan komoditas cenderung naik harganya selama periode berisiko. Hal ini karena para investor memprakirakan permintaan bahan baku yang lebih besar di masa mendatang karena meningkatnya aktivitas ekonomi.

Sejumlah mata uang utama yang cenderung naik selama periode "risk-off" adalah Dolar AS (USD), Yen Jepang (JPY) dan Franc Swiss (CHF). Dolar AS, karena merupakan mata uang cadangan dunia, dan karena pada masa krisis para investor membeli utang pemerintah AS, yang dianggap aman karena ekonomi terbesar di dunia tersebut tidak mungkin gagal bayar. Yen, karena meningkatnya permintaan obligasi pemerintah Jepang, karena sebagian besar dipegang oleh para investor domestik yang tidak mungkin menjualnya – bahkan saat dalam krisis. Franc Swiss, karena undang-undang perbankan Swiss yang ketat menawarkan perlindungan modal yang lebih baik bagi para investor.

Bagikan: Pasokan berita

Tuyên bố miễn trừ trách nhiệm: Quan điểm được trình bày hoàn toàn là của tác giả và không đại diện cho quan điểm chính thức của Followme. Followme không chịu trách nhiệm về tính chính xác, đầy đủ hoặc độ tin cậy của thông tin được cung cấp và không chịu trách nhiệm cho bất kỳ hành động nào được thực hiện dựa trên nội dung, trừ khi được nêu rõ bằng văn bản.

Bạn thích bài viết này? Hãy thể hiện sự cảm kích của bạn bằng cách gửi tiền boa cho tác giả.
avatar
Trả lời 0

Tải thất bại ()

  • tradingContest