Minyak Melemah, Terpukul Penguatan Dolar dan Kekhawatiran Oversupply

• Harga minyak turun, dengan Brent melemah 0,7% ke USD64,44 per barel dan WTI turun 0,8% ke USD60,56, akibat penguatan dolar AS dan data manufaktur global yang suram.
• Keputusan OPEC + menunda kenaikan produksi memicu kekhawatiran akan potensi oversupply, sementara permintaan bahan bakar AS tertekan government shutdown yang memperlambat aktivitas ekonomi.
• Dolar menguat ke level tertinggi empat bulan, membuat minyak lebih mahal, sementara investor menanti data stok minyak AS dari API yang diperkirakan menunjukkan peningkatan persediaan.

Ipotnews - Harga minyak menyusut, Selasa, setelah data manufaktur yang lemah dan penguatan dolar AS menekan prospek permintaan energi. Keputusan OPEC + untuk menghentikan sementara rencana kenaikan produksi pada kuartal pertama tahun depan juga memunculkan kekhawatiran pasar atas potensi kelebihan pasokan.
Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup turun 45 sen atau 0,7% menjadi USD64,44 per barel, demikian laporan  Reuters,  di Houston, Selasa (4/11) atau Rabu (5/11) pagi WIB.
Sementara, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), berkurang 49 sen atau 0,8% menjadi USD60,56 per barel.
"Kontrak berjangka minyak mendapat tekanan akibat nilai dolar AS yang tinggi. Pasar saham AS juga mengalami koreksi tajam seiring dengan dampak penutupan pemerintahan yang mulai menekan permintaan bahan bakar domestik," ujar Dennis Kissler, Vice President BOK Financial.
Dolar AS melejit ke level tertinggi dalam empat bulan terhadap euro, Selasa, seiring meningkatnya keraguan mengenai peluang pemangkasan suku bunga the Fed tahun ini. Penguatan dolar membuat komoditas berdenominasi dolar, seperti minyak, menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain.
Sementara itu, bursa Wall Street terjerembab setelah sejumlah bank besar Amerika memperingatkan potensi aksi jual besar di pasar saham.
Penutupan sebagian pemerintahan AS kini memasuki hari ke-35, menyamai rekor masa jabatan pertama Presiden Donald Trump. Dampaknya semakin terasa, dengan bantuan pangan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dihentikan, serta ribuan pegawai federal--termasuk di bandara, lembaga penegak hukum, dan militer--tidak menerima gaji. Kondisi ini juga membuat ekonomi AS "terbang tanpa instrumen" akibat terbatasnya laporan resmi ekonomi.
Dari Asia, aktivitas manufaktur Jepang melempem sepanjang Oktober dengan laju tercepat dalam 19 bulan terakhir, menurut survei sektor swasta.
Di sisi lain, TotalEnergies dalam laporan prospeknya memperkirakan permintaan global terhadap minyak masih akan meningkat hingga 2040, sebelum mulai menurun secara bertahap. Faktor keamanan energi dan kurangnya koordinasi politik global dinilai memperlambat upaya pengurangan emisi karbon.
Minggu, OPEC + yang terdiri dari Organisasi Negara Eksportir Minyak ( OPEC ), dan produsen sekutunya, sepakat untuk menaikkan produksi secara terbatas pada Desember dan menunda peningkatan tambahan hingga kuartal pertama 2026.
Survei  Reuters  yang dirilis Selasa menunjukkan produksi minyak OPEC meningkat pada Oktober, meski laju kenaikannya melambat dibandingkan bulan-bulan musim panas.
Analis komoditas SEB Research, Bjarne Schieldrop, menyebut dampak sanksi AS terhadap perusahaan energi Rusia, seperti Lukoil dan Rosneft, mulai memudar. "Ketika sanksi tambahan terhadap perusahaan yang masih berdagang dengan entitas Rusia mulai berlaku pada 21 November, dampaknya kemungkinan akan hilang atau tertunda," ujarnya.
Pelaku pasar kini menunggu data persediaan minyak AS dari American Petroleum Institute (API) yang akan dirilis pada akhir sesi. Survei awal  Reuters  memperkirakan stok minyak mentah AS meningkat selama pekan lalu. (Reuters/AI)

Sumber : Admin